Tidak mengherankan apabila kita menemukan deretan nama di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mirip atau sama dengan nama-nama jawa zaman Majapahit. Nama orang, gelar, nama benda dan berbagai hal, termasuk bentuk rumah (sumba), alat senjata, alat kerawitan dan beberapa upacara ritus.
D.K. Kolit dalam pengaruh Majapahit Atas Kebudayaan Nusa Tenggara Timur menyebutkan sederetan nama di NTT yang mempunyai kaitan dengan nama-nama Jawa (Majapahit). Umpamanya, Jawa, Gajah Mada, Bata, jati, Giri, Pati Gela, Nala, Bako, Dewa, Paji, Demang, Rangga, Sima, Leko, Dara, Wonga (1982:48).
Tidak adanya pencatat sejarah di NTT menyebabkan hilangnya peristiwa bersejarah masa lalu. Misalnya beberapa nama pahlawan Sumba yang gigih menentang kolonial Belanda sulit dilacak kisahnya. Sebut saja Umbu Rara Meha di Sumba Timur, Umbu Tagela Bani, Lelu Atu dan Wona Kaka di Sumba Barat. Khusus untuk pahlawan Wona Kaka dikhabarkan beliau di buang ke Nusa Kambangan pada tahun 1913, sedangkan 66 orang kawan seperjuangannya dibuang ke Aceh, Pangkal Pinang, Batavia (Jakarta), dan lain-lain.
Demikianlah pergolakan Majapahit dengan Mahapati Gajah Mada di Sumba hanya samar-samar dikisahkan dari mulut ke mulut. Ditemukan pohon Maja (Sumba: bila) dalam jumlah besar hampir diseluruh pesisir Sumba, lalu dituturkan, bahwa pohon tersebut ditanam oleh Gajah Mada ketika pertama kali mendarat di pulau Sumba.
Di Sabu salah satu pulau di NTT masih ada upacara keagamaan asli yang disebut pemotong wawi maja (babi untuk menghormati Gajah Mada). Menurut kepercayaan sana, wawi maja adalah babi yang didatangkan dari Majapahit (tempo dulu) untuk ritus keagamaan di Sabu.
Sumba, Nusa Cendana, atau pulau sandlewood, yang kini tinggal legenda karena sisa-sisa cendananya yang terus dicuri dan diseludupkan, merupakan sebuah pulau yang agak terpencil dari gugusan pulau lainnya di NTT. Sebagian besar penduduknya masih beragama Marapu (agama asli).
Dari cerita rakyat dapat dipastikan bahwa dulu Sumba selalu disinggahi perahu/kapal pedagang. Bahwa orang Sumba juga diajak untuk berlayar. Diceritakan mereka menyinggahi pelabuhan tujuh kali. Barangkali itulah Sabu, Timor, Flores, Sumbawa, Lombok, Bali dan Jawa. Pada abad ke-16 dikisahkan ada kapal-kapal yang membawa emas dari kepulauan Kuria-Muria dan menukarnya dengan kuda Sandlewood, sehingga sebelum pendudukan Jepang ada bangsawan Sumba yang memiliki emas sampai 100 kg.
Yang menyolok dalam cerita rakyat Sumba adalah adanya dua tokoh yakni, Umbu Ndilu dan Umbu Mada (Sumba Timur), atau Rato Ndelo dan Rato Mada (Sumba Barat). Rato dan Umbu merupakan gelar bangsawan. Bandingkan ratu dengan empu di Jawa. Kedua tokoh yang merupakan kakak beradik ini (dalam cerita Sumba) selalu muncul dalam sikap perkasa. Gagah, berani, berwibawa, lagi cakap.
Begitu kentalnya nama kedua orang ini hingga diabadikan dalam nama-nama orang Sumba bahkan hingga saat ini. Banyak orang Sumba yang memakai nama Ndilu Hamaratu, Mada Lughu, Palonda Mada, bahkan suku Kodi di Sumba Barat mengabadikan salah satu tokoh dalam marga besar yang disebut Walla Mada (turunan Mada).
Dalam bahasa baitab suku Kodi, kedua tokoh itu selalu disanjung dalam ungkapan, ”Ndelo ana Rato, Mada Pera Konda” yang bermakna Ndelo Putra Bangsawaan, Mada Nahkoda Agung. Jika Ndelo atau Ndilu adalah laksamana Nala (dalam kerajaan Majapahit) sudah tentu terjadi salah kaprah menyangkut julukan Mada Pera Konda, yang seharusnya Ndelo Pera Konda agar sesuai dengan profesi Laksamana Nala sebagai panglima perang. Tapi, agak rancu juga, karena di Sumba Timur selain nama Ndilu ada juga Nola yang mendekati Nala.
Pada bulan Februari suku Kodi, merayakan pesta Nale yang ditandai dengan pasola/paholang (perang-perangan) mengingatkan kita pada pasawoan di Jawa. Disini juga ada keraguan jika Nale disamakan dengan Nala, meskipun Nale berasal dari laut yang ditandai dengan datangnya cacing Wawo. Karena Nale ini dianggap Dewi Padi (Biri Koni) yang dapat disamakan dengan Dewi Sri di Jawa.
Di kecamatan Tabundung Sumba Timur ditemukan nama Majapahit dan Hayam Wuruk yang menurut lafal sana diucapkan sebagai Manjapalit dan Mehanguruk. Keduanya nama orang, karena menurut cerita rakyat Tabundung justru nenek moyang mereka yang lebih dekat dengan Patih Gajah Mada (apalagi letak daerah mereka dipinggir pesisir yang banyak pohon Maja).
Memang banyak nama orang Sumba yang benar-benar mengingatkan kita pada nama-nama zaman Majapahit. Misalnya, Rangga Wuni dan Rangga Lawe (Sabu: Raga) di Kodi, nama Rangga sangat dominan, bahkan ada yang bernama Rangga Wuni. Demikianlah nama Pati, Maha Pati (Kodi), Sore (nama zaman Majapahit), Hore/Hora (beberapa dialek Sumba tidak mengenal fonem s). Demikian juga nama Siwa Bala, Langga (ingat Erlangga), Ndara Moro (ingat Dara Jingga). Kata Jawa juga sangat menonjol dalam nama-nama suku Kodi seperti, Pati Jawa, Muda Dawa, Rehi Jawa, Tari Jawa, Biri Jawa. Nama Gajah Mada di abadikan dalam nama-nama Nggaja, Nggading/Nggeding (Sumba Timur), Gaja, Mada (Sabu, Laura).
Masih banyak hal yang terus mengingatkan kita pada kebudayaan Jawa seperti bentuk tombak, gong (gamelan), rumah joglo dengan soko gurunya, yaigho/zaizo (Jawa: Wayang). Jangan dikata lagi banyak sekali kata Sumba yang sama dengan bahasa Jawa. Bandingkan halaku/laku dengan mlaku (pergi), manduru/mahuru dengan turu (tidur), walu-wolu (delapan), ughi-uwi (ubi), kurang-urang (udang), pira-piro (berapa), manat-manut (ikut), rennge-rongu/rungu (dengar), langgi/langga-legi (manis), wula/wulang-wulan (bulan), ahu-asu (anjing), pena/peina-piye (bagaimana), kalambe/kalembi-klambi (baju), umah-omah (rumah), tallu/tollu-tollu (tiga), patu/pata-papat (empat), malara-lara (sakit).
Dari uraian di atas ada kemungkinan nama Mada dan Nggaja ada kaitannya dengan Gajah Mada, Nola dengan Nala, sedangkan Ndelo/Ndilu mungkin juga ada kaitannya dengan Nala. Manjapalit dan Mahanguruk adalah nama Majapahit dan Hayam Wuruk prabu Majapahit yang memerintah pada tahun 1350-1389 dengan nama Rajasanagara.
Di Sabu salah satu pulau di NTT masih ada upacara keagamaan asli yang disebut pemotong wawi maja (babi untuk menghormati Gajah Mada). Menurut kepercayaan sana, wawi maja adalah babi yang didatangkan dari Majapahit (tempo dulu) untuk ritus keagamaan di Sabu.
Sumba, Nusa Cendana, atau pulau sandlewood, yang kini tinggal legenda karena sisa-sisa cendananya yang terus dicuri dan diseludupkan, merupakan sebuah pulau yang agak terpencil dari gugusan pulau lainnya di NTT. Sebagian besar penduduknya masih beragama Marapu (agama asli).
Dari cerita rakyat dapat dipastikan bahwa dulu Sumba selalu disinggahi perahu/kapal pedagang. Bahwa orang Sumba juga diajak untuk berlayar. Diceritakan mereka menyinggahi pelabuhan tujuh kali. Barangkali itulah Sabu, Timor, Flores, Sumbawa, Lombok, Bali dan Jawa. Pada abad ke-16 dikisahkan ada kapal-kapal yang membawa emas dari kepulauan Kuria-Muria dan menukarnya dengan kuda Sandlewood, sehingga sebelum pendudukan Jepang ada bangsawan Sumba yang memiliki emas sampai 100 kg.
Yang menyolok dalam cerita rakyat Sumba adalah adanya dua tokoh yakni, Umbu Ndilu dan Umbu Mada (Sumba Timur), atau Rato Ndelo dan Rato Mada (Sumba Barat). Rato dan Umbu merupakan gelar bangsawan. Bandingkan ratu dengan empu di Jawa. Kedua tokoh yang merupakan kakak beradik ini (dalam cerita Sumba) selalu muncul dalam sikap perkasa. Gagah, berani, berwibawa, lagi cakap.
Begitu kentalnya nama kedua orang ini hingga diabadikan dalam nama-nama orang Sumba bahkan hingga saat ini. Banyak orang Sumba yang memakai nama Ndilu Hamaratu, Mada Lughu, Palonda Mada, bahkan suku Kodi di Sumba Barat mengabadikan salah satu tokoh dalam marga besar yang disebut Walla Mada (turunan Mada).
Dalam bahasa baitab suku Kodi, kedua tokoh itu selalu disanjung dalam ungkapan, ”Ndelo ana Rato, Mada Pera Konda” yang bermakna Ndelo Putra Bangsawaan, Mada Nahkoda Agung. Jika Ndelo atau Ndilu adalah laksamana Nala (dalam kerajaan Majapahit) sudah tentu terjadi salah kaprah menyangkut julukan Mada Pera Konda, yang seharusnya Ndelo Pera Konda agar sesuai dengan profesi Laksamana Nala sebagai panglima perang. Tapi, agak rancu juga, karena di Sumba Timur selain nama Ndilu ada juga Nola yang mendekati Nala.
Pada bulan Februari suku Kodi, merayakan pesta Nale yang ditandai dengan pasola/paholang (perang-perangan) mengingatkan kita pada pasawoan di Jawa. Disini juga ada keraguan jika Nale disamakan dengan Nala, meskipun Nale berasal dari laut yang ditandai dengan datangnya cacing Wawo. Karena Nale ini dianggap Dewi Padi (Biri Koni) yang dapat disamakan dengan Dewi Sri di Jawa.
Di kecamatan Tabundung Sumba Timur ditemukan nama Majapahit dan Hayam Wuruk yang menurut lafal sana diucapkan sebagai Manjapalit dan Mehanguruk. Keduanya nama orang, karena menurut cerita rakyat Tabundung justru nenek moyang mereka yang lebih dekat dengan Patih Gajah Mada (apalagi letak daerah mereka dipinggir pesisir yang banyak pohon Maja).
Memang banyak nama orang Sumba yang benar-benar mengingatkan kita pada nama-nama zaman Majapahit. Misalnya, Rangga Wuni dan Rangga Lawe (Sabu: Raga) di Kodi, nama Rangga sangat dominan, bahkan ada yang bernama Rangga Wuni. Demikianlah nama Pati, Maha Pati (Kodi), Sore (nama zaman Majapahit), Hore/Hora (beberapa dialek Sumba tidak mengenal fonem s). Demikian juga nama Siwa Bala, Langga (ingat Erlangga), Ndara Moro (ingat Dara Jingga). Kata Jawa juga sangat menonjol dalam nama-nama suku Kodi seperti, Pati Jawa, Muda Dawa, Rehi Jawa, Tari Jawa, Biri Jawa. Nama Gajah Mada di abadikan dalam nama-nama Nggaja, Nggading/Nggeding (Sumba Timur), Gaja, Mada (Sabu, Laura).
Masih banyak hal yang terus mengingatkan kita pada kebudayaan Jawa seperti bentuk tombak, gong (gamelan), rumah joglo dengan soko gurunya, yaigho/zaizo (Jawa: Wayang). Jangan dikata lagi banyak sekali kata Sumba yang sama dengan bahasa Jawa. Bandingkan halaku/laku dengan mlaku (pergi), manduru/mahuru dengan turu (tidur), walu-wolu (delapan), ughi-uwi (ubi), kurang-urang (udang), pira-piro (berapa), manat-manut (ikut), rennge-rongu/rungu (dengar), langgi/langga-legi (manis), wula/wulang-wulan (bulan), ahu-asu (anjing), pena/peina-piye (bagaimana), kalambe/kalembi-klambi (baju), umah-omah (rumah), tallu/tollu-tollu (tiga), patu/pata-papat (empat), malara-lara (sakit).
Dari uraian di atas ada kemungkinan nama Mada dan Nggaja ada kaitannya dengan Gajah Mada, Nola dengan Nala, sedangkan Ndelo/Ndilu mungkin juga ada kaitannya dengan Nala. Manjapalit dan Mahanguruk adalah nama Majapahit dan Hayam Wuruk prabu Majapahit yang memerintah pada tahun 1350-1389 dengan nama Rajasanagara.